Rabu, 30 Mei 2012

sekilas tentang suku sabu


SEJARAH SUKU SABU

Legenda menuturkan, nenek moyang orang Sawu (Sabu) datang dari seberang yang disebut Bou dakka ti dara dahi, agati kolo rai ahhu rai panr hu ude kolo robo. Artinya, orang yang datang dari laut, dari tempat jauh sekali, lalu bermukim di pulau Sawu (Sabu). Orang pertama adalah Kika Ga dan kakaknya Hawu Ga. Keturunan Kika Ga inilah yang disebut orang Sabu (Do Hawu) yang ada sekarang. Nama Rai Hawu atau pulau Sawu (Sabu) berasal dari nama Hawu Ga, salah satu leluhur mereka. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat suku Sawu (Sabu) hidup dalam kekerabatan keluarga batih (Ayah, ibu dan anak) disebut Hewue dara ammu.

SISTEM KEPERCAYAAN
Masyarakat Sawu (Sabu) menganut agama asli jingitiu sebelum agama Kristen. Kini 80 % masyarakat Sabu beragama Kristen Protestan. Walaupun begitu, pola pikir mereka masih didukung jingitu. Norma kepercayaan mereka masih tetap berlaku dengan kelender adat yang menentukan saat menanam dan upacara lainnya.
Norma kepercayaan asli masih menerapkan ketentuan hidup adat atau uku, yang konon dipercayai mengatur seluruh kehidupan manusia dan berasal dari leluhur mereka. Semua yang ada dibumi ini Rai Wawa (tanah bawah) berasal dari Deo Ama atau Deo moro dee penyi (dewa mengumpulkan membentuk mancipta). Deo Ama sangat dihormati sekaligus ditakuti, penuh misteri. Menurut kepercayaan itu dibawah Deo Ama terdapat berbagai roh yang mengatur kegiatan musim seperti kemarau oleh Pulodo Wadu, musim hujan oleh Deo Rai.
Pembersihan setelah ada pelanggaran harus dilakukan melalui Ruwe, sementara Deo Heleo merupakan dewa pengawas supervisi. Upacara adat yang dilakukan harus oleh deo Pahami, orang yang dilantik dan diurapi. Upacara dilakukan dengan sajian pemotongan hewan besar. Kegiatan setiap upacara berpusat pada pokok kehidupan yakni pertanian, peternakan dan penggarapan laut. Karena itu selalu ada dewa atau tokoh gaib untuk semua kegiatan, termasuk menyadap nira. Kegiatan pada musim hujan berfungsi pada tokoh dewa wanita “Putri Agung”, Banni Ae, disamping dewa pemberi kesuburan dan kehijauan Deo manguru. Karena sangat bergantung pada iklim maka mereka memiliki tiga mahluk gaib yakni liru balla (langit), rai balla (bumi) dan dahi balla (laut). Masyarakat Sawu (Sabu) juga memiliki pembawa hujan yaitu angin Barat : wa lole, Selatan : lou lole dari Timur: dimu lole. Begitu banyak dewa atau tokoh gaib sampai hal yang sekecil-kecilnya seperti petir dan awan. Begitu juga pada usaha penyadapan nira, ada dewa mayang, dewa penjaga wadah penampung (haik) malah sampai haba hawu dan jiwa hode yang menjaga kayu bakar agar cukup untuk memasak gula Sabu.
Kampung masyarakat Sabu memiliki Uli rae, penjaga kampung, kemudi kampung bagian dalam gerbang Timur (maki rae) disebelahnya, serta aji rae dan tiba rae, (penangkis kampung) sama-sama melindungi kampung.
Oleh karena itu setiap rumah dibangun harus dengan upacara untuk memberi semangat atau hamanga dengan ungkapan wie we worara webahi (jadikanlah seperti tembaga besi). Dalam setiap rumah diusahakan tempat upacara yang dilakukan sesuai musim dan kebutuhan, karena semua warga rumah yang sudah meninggal menjadi deo ama deo apu (dewa bapak dewa leluhur) diundang makan sesajen. Demikian juga terhadap ternak, selalu ada dewa penjaga, disebut deo pada untuk kambing serta dewa mone bala untuk gembalanya. Tetapi selalu ada saja lawannya. Karena itu, ada dewa perusak yang kebetulan tinggal dilat yakni wango dan merupakan asal dari segala macam penyakit. Hama tanaman, angin ribut dan segala bencana.
Karena itu, kepadanya harus dibuat upacara khusus untuk mengembalikannya ke laut supaya masyarakat terhindar dari berbagai bencana walaupun ada kepercayaan bahwa sebagai musibah itu merupakan kesalahan manusia sendiri yang lalai membuat upacara adat. Umpamanya jika tidak membuat upacara untuk sang banni ae, maka sang putri ini akan memeras payudaranya yang menimpa manusia menimbulkan penyakit cacar.
UPACARA KEAGAMAAN
Di pulau Sawu (Sabu) terdapat beberapa upacara kematian yakni upacara kematian Dewan Mone Ama, upacara kematian orang mati kecelakaan ini diadakan pesta serta tarian Lido puru Rai serta makan-makan sejumlah hewan yang dipotong. Pada upacara kematian Dewan Mone Ama, upacaranya tidak sama dengan orang biasa. Ujung jari tangan, kaki dan tidak dipotong dan dikuburkan tersendiri oleh penggantinya tanpa diketahui seseorang. Lobang kubur berbentuk bulat, mayat dikubur dalam posisi jongkok dan di atas kepalanya ditutup gong. Mayat orang yang mati karena kecelakaan, dikuburkan di luar rumah dan bentuk kuburannya persegi panjang. Upacaranya disebut Rue di mana pada upacara ini dipotong 7 ekor hewan antara lain babi, kambing, ayam, anjing dan sebagainya, sedangkan pada upacara kematian yang biasa, mayat dibungkus dengan selimut adat dan dikuburkan dalam posisi jongkok dengan dibekali bahan makanan, sirih dan pinang. Di atas kuburannya dipotong hewan kecil misalnya seekor kutu babi, sebagai tambahan bekal si mati.

Kekerabatan suku sabu

Pada suku bangsa Sabu terdapat sistem kekerabatan mulai dari yang terkecil hingga yang terbesar yakni keluarga kecil yang disebut “Hewue ‘Dara Ammu” yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Keluarga kecil ini dipimpin oleh kepala keluarga yaitu ayah. Keluarga yang lebih luas lagi disebut “Hewue Kabba ‘Gati” artinya sekumpulan keluarga yang terdiri dari beberapa keluarga kecil yang bersatu dalam membuat upacara-upacara adat dalam keluarga yang difokuskan dalam sebuah rumah adat. Keluarga tersebut berasal dari turunan satu kakek yang disebut “Hedau Appu”. 

Kumpulan yang lebih luas lagi disebut “Hewue Kerogo” yang merupakan kumpulan beberapa orang nenek beserta anak, cucu dan cicitnya. Pemimpin sebuah Kerogo disebut “Kattu Kerogo” yang biasanya dipilih dari yang tertua di antara mereka.
Kumpulan yang paling besar disebut “Hewue Udu” yang dipimpin oleh “Bangngu Udu”. Keturunan dalam Udu terdiri dari kumpulan beberapa buah Kerogo.
Dalam pandangan dan kehidupan orang Sabu, bidang keagamaan tidak dipisahkan dari segi kehidupan lainnya.

Orang Sabu tidak mengenal satu istilah yang menunjuk kepada pengertian agama secara tersendiri. Hidup keagamaan mereka adalah kehidupan yang menerapkan ketentuan adat (hidup menurut uku). Penyimpangan dari aturan yang telah ditetapkan mengganggu keseimbangan dan dikaitkan dengan timbulnya krisis atau tidak berlangsungnya suatu proses kehidupan sehari-hari yang wajar (misalnya hujan tidak turun, timbulnya serangan hama, terjadinya kematian tidak wajar, dan sebagainya).
Aturan atau uku yang mengatur seluruh hidup manusia berasal dari leluhur asal orang Sabu, dan berfungsi sebagai pedoman tingkah laku sehari-hari, sekaligus menetapkan hubungan manusia dengan alam tak kelihatan atau dunia gaib, baik itu dengan dunia dewa yang melindungi, maupun dengan kekuatan jahat yang mengancam kehidupan manusia. Segala sesuatu di dunia (raiwawa) berasal dari Deo Ama (Dewa Bapak). Deo Ama ini juga disebut Deo Mone woro Mone Penynyi (Dewa Pencipta). Langit, bumi, laut, dan segala isinya diciptakan oleh Dewa ini.

Dalam visi Dewa  Pencipta berada jauh dari kegiatan hidup sehari-hari serta dari upacara yang diselenggarakan berkenaan dengan kehidupan sehari-hari, dan juga pengetahuan orang Sabu tentang Deo Ama sangat kabur. Untuk Dewa Pencipta ini tidak dibuatkan sesaji. la adalah tokoh yang ditakuti sekaligus dihormati. Namanya tidak boleh disebut. la adalah tokoh tertinggi yang penuh misteri.

Lebih rendah tingkatnya dari Deo Ama adalah tokoh-tokoh makhluk halus yang mengatur kegiatan dalam tiap musim. Kegiatan musim hujan diatur oleh Deo Rai, musim kemarau diatur oleh Pu Lo'do. Tokoh yang mengatur penyucian dan pembersihan kembali dari akibat penyimpangan-penyimpangan adalah Rue, sedangkan yang bertugas mengawasi segala sesuatu adalah Do Heleo. Selain tokoh-tokoh gaib tersebut di dunia nyata juga terdapat tokoh-tokoh dengan nama seperti tokoh di alam gaib. Tokoh-tokoh di dunia nyata ini merupakan orang-orang terpilih yang dalam bahasa adatnya disebut Dau Pehami (orang yang diurapi). Mereka ini adalah "bayangan" dari tokoh yang sebenarnya. Mereka-mereka inilah yang bertugas sebagai jembatan penghubung antara manusia dengan tokoh di alam gaib. Hewan sesaji yang dipersembahkan pada waktu upacara merupakan sarana agar permohonan yang disampaikan kepada para dewa dapat tercapai, hewan sesaji yang dikorbankan inilah yang membawa kata-kata permohonan upacara dan berbicara dengan dewa yang dituju. Menurut anggapan orang Sabu, hubungan manusia dengan dunia gaib berpusat pada kegiatan pertanian, peternakan, dan penggarapan laut. Kehidupan orang Sabu bergantung pada terjaminnya tiga hasil usaha di atas. Di samping itu, orang Sabu juga bergantung kepada tiga makhluk gaib yang lain, yaitu Riru Balla (Langit), Rai Balla (Bumi), dan Dahi Balla (Laut). Ketiga tokoh gaib ini sangat berperan dalam kegiatan pertanian orang Sabu. Riru Balla, dikaitkan dengan kegiatan sadap nira dan usaha tani ladang, Langit yang putih, menandakan panen nira yang banyak, dan langit berawan mengandung hujan untuk menumbuhkan tanaman di ladang. Bumi (Rai Balla) membiarkan tubuhnya terluka karena digarap penduduk untuk usaha tani, ladang dan kebun. Oleh karena itu manusia wajib meletakkan sesaji kepada bumi agar bekas lukanya "dimaniskan", disembuhkan. Kepada Laut yang memberikan hasil ikan dan sayur laut, harus pula diberikan sesaji.

Hidup manusia tidak bebas dari persoalan dan kesulitan. Persoalan dan kesulitan yang dihadapi orang Sabu diberi makna selain sebagai akibat tingkah laku yang menyimpang dari ketentuan aturan ataupun kegagalan memenuhi apa yang dituntut oleh ketentuan adat (misalnya tidak menyelenggarakan sesuatu upacara karena tidak memperoleh hewan), juga dihubungkan dengan perbuatan kekuatan-kekuatan jahat. Tokoh-tokoh makhluk halus yang mengancam kehidupan manusia itu, bertempat tinggal di laut. Di antara mereka ada yang diturunkan antara perkawinan antara Bumi (Rai Balla) dengan perempuan dari dalam laut (Banni 'Dara Dahi). Tokoh-tokoh jahat itu disebut Wango (setan). Sakit penyakit, hama tanaman, angin ribut, semuanya berasal dari laut. Untuk menghindari perbuatan mereka, diselenggarakan upacara khusus untuk memohon agar mereka kembali ke tempat tinggalnya di laut. Upacara itu disebut Pengaddu Wango.

Selain daripada hal-hal negatif yang berasal dari perbuatan para Wango itu, orang Sabu percaya pula bahwa kesulitan yang dialami manusia adalah hukuman terhadap pelanggaran dan kelalaian manusia sendiri.
Peristiwa yang diamati dan dialami orang Sabu diberi pula makna dalam hubungannya dengan dunia gaib, baik makna positif maupun makna negatif. Bila ular jatuh dari atap, atau burung terbang ke dalam rumah, dan sebagainya maka orang Sabu segera melakukan upacara Kerei Kepoke (menanyakan tombak), untuk memperoleh jawaban dan mengetahui makna apa yang terkandung di belakang peristiwa itu. Usaha mencari tahu biasanya berakhir dengan menginventarisasi sejumlah hal yang terjadi di masa lampau yang dapat digolongkan sebagai pelanggaran atau kesalahan. Dalam upacara Kerei Kepoke ini, juga diselidiki terhadap makhluk halus manakah kesalahan itu telah dibuat. Untuk memulihkan kembali aturan serta mengembalikan yang menyimpang itu kepada ketentuan semula, harus diselenggarakan upacara khusus. Upacara itu disebut Peami Huba. (minta ampun) atau Pemola Anni (meluruskan diri).

Di kalangan orang Sabu, ada pula keyakinan terhadap kekuatan gaib yang tergolong jahat yang dimiliki manusia dan dapat mencelakakan hidup dan usaha manusia lainnya. Kekuatan ini disebut Kewa'ga/menidu (suanggi/sihir).



1 komentar: