SEJARAH SUKU SABU
Legenda
menuturkan, nenek moyang orang Sawu (Sabu) datang dari seberang yang disebut Bou
dakka ti dara dahi, agati kolo rai ahhu rai panr hu ude kolo robo. Artinya,
orang yang datang dari laut, dari tempat jauh sekali, lalu bermukim di pulau
Sawu (Sabu). Orang pertama adalah Kika Ga dan kakaknya Hawu Ga.
Keturunan Kika Ga inilah yang disebut orang Sabu (Do Hawu) yang ada
sekarang. Nama Rai Hawu atau pulau Sawu (Sabu) berasal dari nama Hawu
Ga, salah satu leluhur mereka. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat suku
Sawu (Sabu) hidup dalam kekerabatan keluarga batih (Ayah, ibu dan anak) disebut
Hewue dara ammu.
SISTEM
KEPERCAYAAN
Masyarakat
Sawu (Sabu) menganut agama asli jingitiu sebelum agama Kristen. Kini 80
% masyarakat Sabu beragama Kristen Protestan. Walaupun begitu, pola pikir
mereka masih didukung jingitu. Norma kepercayaan mereka masih tetap
berlaku dengan kelender adat yang menentukan saat menanam dan upacara lainnya.
Norma
kepercayaan asli masih menerapkan ketentuan hidup adat atau uku, yang
konon dipercayai mengatur seluruh kehidupan manusia dan berasal dari leluhur
mereka. Semua yang ada dibumi ini Rai Wawa (tanah bawah) berasal dari Deo
Ama atau Deo moro dee penyi (dewa mengumpulkan membentuk mancipta). Deo
Ama sangat dihormati sekaligus ditakuti, penuh misteri. Menurut kepercayaan
itu dibawah Deo Ama terdapat berbagai roh yang mengatur kegiatan musim
seperti kemarau oleh Pulodo Wadu, musim hujan oleh Deo Rai.
Pembersihan
setelah ada pelanggaran harus
dilakukan melalui Ruwe, sementara Deo Heleo merupakan dewa
pengawas supervisi. Upacara adat yang dilakukan harus oleh deo Pahami,
orang yang dilantik dan diurapi. Upacara dilakukan dengan sajian pemotongan
hewan besar. Kegiatan setiap upacara berpusat pada pokok kehidupan yakni
pertanian, peternakan dan penggarapan laut. Karena itu selalu ada dewa atau
tokoh gaib untuk semua kegiatan, termasuk menyadap nira. Kegiatan pada musim
hujan berfungsi pada tokoh dewa wanita “Putri Agung”, Banni Ae,
disamping dewa pemberi kesuburan dan kehijauan Deo manguru. Karena
sangat bergantung pada iklim maka mereka memiliki tiga mahluk gaib yakni liru
balla (langit), rai balla (bumi) dan dahi balla (laut).
Masyarakat Sawu (Sabu) juga memiliki pembawa hujan yaitu angin Barat : wa
lole, Selatan : lou lole dari Timur: dimu lole. Begitu banyak
dewa atau tokoh gaib sampai hal yang sekecil-kecilnya seperti petir dan awan.
Begitu juga pada usaha penyadapan nira, ada dewa mayang, dewa penjaga wadah
penampung (haik) malah sampai haba hawu dan jiwa hode yang menjaga kayu
bakar agar cukup untuk memasak gula Sabu.
Kampung
masyarakat Sabu memiliki Uli rae, penjaga kampung, kemudi kampung bagian
dalam gerbang Timur (maki rae) disebelahnya, serta aji rae dan tiba
rae, (penangkis kampung) sama-sama melindungi kampung.
Oleh
karena itu setiap rumah dibangun harus dengan upacara untuk memberi semangat
atau hamanga dengan ungkapan wie we worara webahi (jadikanlah
seperti tembaga besi). Dalam setiap rumah diusahakan tempat upacara yang
dilakukan sesuai musim dan kebutuhan, karena semua warga rumah yang sudah
meninggal menjadi deo ama deo apu (dewa bapak dewa leluhur) diundang
makan sesajen. Demikian juga terhadap ternak, selalu ada dewa penjaga, disebut deo
pada untuk kambing serta dewa mone bala untuk gembalanya. Tetapi selalu
ada saja lawannya. Karena itu, ada dewa perusak yang kebetulan tinggal dilat
yakni wango dan merupakan asal dari segala macam penyakit. Hama tanaman,
angin ribut dan segala bencana.
Karena
itu, kepadanya harus dibuat upacara khusus untuk mengembalikannya ke laut
supaya masyarakat terhindar dari berbagai bencana walaupun ada kepercayaan
bahwa sebagai musibah itu merupakan kesalahan manusia sendiri yang lalai
membuat upacara adat. Umpamanya jika tidak membuat upacara untuk sang banni
ae, maka sang putri ini akan memeras payudaranya yang menimpa manusia
menimbulkan penyakit cacar.
UPACARA KEAGAMAAN
Di
pulau Sawu (Sabu) terdapat beberapa upacara kematian yakni upacara kematian Dewan
Mone Ama, upacara kematian orang mati kecelakaan ini diadakan pesta serta
tarian Lido puru Rai serta makan-makan sejumlah hewan yang dipotong.
Pada upacara kematian Dewan Mone Ama, upacaranya tidak sama dengan orang
biasa. Ujung jari tangan, kaki dan tidak dipotong dan dikuburkan tersendiri
oleh penggantinya tanpa diketahui seseorang. Lobang kubur berbentuk bulat,
mayat dikubur dalam posisi jongkok dan di atas kepalanya ditutup gong.
Mayat orang yang mati karena kecelakaan, dikuburkan di luar rumah dan bentuk
kuburannya persegi panjang. Upacaranya disebut Rue di mana pada upacara
ini dipotong 7 ekor hewan antara lain babi, kambing, ayam, anjing dan
sebagainya, sedangkan pada upacara kematian yang biasa, mayat dibungkus dengan
selimut adat dan dikuburkan dalam posisi jongkok dengan dibekali bahan makanan,
sirih dan pinang. Di atas kuburannya dipotong hewan kecil
misalnya seekor kutu babi, sebagai tambahan bekal si mati.
Kekerabatan suku sabu
Pada suku
bangsa Sabu terdapat sistem kekerabatan mulai dari yang terkecil hingga yang
terbesar yakni keluarga kecil yang disebut “Hewue ‘Dara Ammu” yang
terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Keluarga kecil ini dipimpin oleh kepala
keluarga yaitu ayah. Keluarga yang lebih luas lagi disebut “Hewue Kabba
‘Gati” artinya sekumpulan keluarga yang terdiri dari beberapa keluarga
kecil yang bersatu dalam membuat upacara-upacara adat dalam keluarga yang
difokuskan dalam sebuah rumah adat. Keluarga tersebut berasal dari turunan satu
kakek yang disebut “Hedau Appu”.
Kumpulan
yang lebih luas lagi disebut “Hewue Kerogo” yang merupakan kumpulan
beberapa orang nenek beserta anak, cucu dan cicitnya. Pemimpin sebuah Kerogo
disebut “Kattu Kerogo” yang biasanya dipilih dari yang tertua di antara
mereka.
Kumpulan
yang paling besar disebut “Hewue Udu” yang dipimpin oleh “Bangngu Udu”.
Keturunan dalam Udu terdiri dari kumpulan beberapa buah Kerogo.
Dalam
pandangan dan kehidupan orang Sabu, bidang keagamaan tidak dipisahkan dari segi
kehidupan lainnya.
Orang Sabu
tidak mengenal satu istilah yang menunjuk kepada pengertian agama secara
tersendiri. Hidup keagamaan mereka adalah kehidupan yang menerapkan ketentuan
adat (hidup menurut uku). Penyimpangan dari aturan yang telah ditetapkan
mengganggu keseimbangan dan dikaitkan dengan timbulnya krisis atau tidak
berlangsungnya suatu proses kehidupan sehari-hari yang wajar (misalnya hujan
tidak turun, timbulnya serangan hama, terjadinya kematian tidak wajar, dan sebagainya).
Aturan
atau uku yang mengatur seluruh hidup manusia berasal dari leluhur asal
orang Sabu, dan berfungsi sebagai pedoman tingkah laku sehari-hari, sekaligus
menetapkan hubungan manusia dengan alam tak kelihatan atau dunia gaib, baik itu
dengan dunia dewa yang melindungi, maupun dengan kekuatan jahat yang mengancam
kehidupan manusia. Segala sesuatu di dunia (raiwawa) berasal dari Deo
Ama (Dewa Bapak). Deo Ama ini juga disebut Deo Mone woro Mone
Penynyi (Dewa Pencipta). Langit, bumi, laut, dan segala isinya diciptakan
oleh Dewa ini.
Dalam visi
Dewa Pencipta berada jauh dari kegiatan hidup sehari-hari serta dari
upacara yang diselenggarakan berkenaan dengan kehidupan sehari-hari, dan juga
pengetahuan orang Sabu tentang Deo Ama sangat kabur. Untuk Dewa Pencipta
ini tidak dibuatkan sesaji. la adalah tokoh yang ditakuti sekaligus dihormati.
Namanya tidak boleh disebut. la adalah tokoh tertinggi yang penuh misteri.
Lebih
rendah tingkatnya dari Deo Ama adalah tokoh-tokoh makhluk halus yang
mengatur kegiatan dalam tiap musim. Kegiatan musim hujan diatur oleh Deo Rai,
musim kemarau diatur oleh Pu Lo'do. Tokoh yang mengatur penyucian dan
pembersihan kembali dari akibat penyimpangan-penyimpangan adalah Rue,
sedangkan yang bertugas mengawasi segala sesuatu adalah Do Heleo. Selain
tokoh-tokoh gaib tersebut di dunia nyata juga terdapat tokoh-tokoh dengan nama
seperti tokoh di alam gaib. Tokoh-tokoh di dunia nyata ini merupakan
orang-orang terpilih yang dalam bahasa adatnya disebut Dau Pehami (orang
yang diurapi). Mereka ini adalah "bayangan" dari tokoh yang
sebenarnya. Mereka-mereka inilah yang bertugas sebagai jembatan penghubung
antara manusia dengan tokoh di alam gaib. Hewan sesaji yang dipersembahkan pada
waktu upacara merupakan sarana agar permohonan yang disampaikan kepada para
dewa dapat tercapai, hewan sesaji yang dikorbankan inilah yang membawa
kata-kata permohonan upacara dan berbicara dengan dewa yang dituju. Menurut
anggapan orang Sabu, hubungan manusia dengan dunia gaib berpusat pada kegiatan
pertanian, peternakan, dan penggarapan laut. Kehidupan orang Sabu bergantung
pada terjaminnya tiga hasil usaha di atas. Di samping itu, orang Sabu juga
bergantung kepada tiga makhluk gaib yang lain, yaitu Riru Balla (Langit),
Rai Balla (Bumi), dan Dahi Balla (Laut). Ketiga tokoh gaib ini
sangat berperan dalam kegiatan pertanian orang Sabu. Riru Balla,
dikaitkan dengan kegiatan sadap nira dan usaha tani ladang, Langit yang putih,
menandakan panen nira yang banyak, dan langit berawan mengandung hujan untuk
menumbuhkan tanaman di ladang. Bumi (Rai Balla) membiarkan tubuhnya
terluka karena digarap penduduk untuk usaha tani, ladang dan kebun. Oleh karena
itu manusia wajib meletakkan sesaji kepada bumi agar bekas lukanya
"dimaniskan", disembuhkan. Kepada Laut yang memberikan hasil ikan dan
sayur laut, harus pula diberikan sesaji.
Hidup
manusia tidak bebas dari persoalan dan kesulitan. Persoalan dan kesulitan yang
dihadapi orang Sabu diberi makna selain sebagai akibat tingkah laku yang
menyimpang dari ketentuan aturan ataupun kegagalan memenuhi apa yang dituntut
oleh ketentuan adat (misalnya tidak menyelenggarakan sesuatu upacara karena
tidak memperoleh hewan), juga dihubungkan dengan perbuatan kekuatan-kekuatan
jahat. Tokoh-tokoh makhluk halus yang mengancam kehidupan manusia itu,
bertempat tinggal di laut. Di antara mereka ada yang diturunkan antara
perkawinan antara Bumi (Rai Balla) dengan perempuan dari dalam laut (Banni
'Dara Dahi). Tokoh-tokoh jahat itu disebut Wango (setan). Sakit
penyakit, hama tanaman, angin ribut, semuanya berasal dari laut. Untuk
menghindari perbuatan mereka, diselenggarakan upacara khusus untuk memohon agar
mereka kembali ke tempat tinggalnya di laut. Upacara itu disebut Pengaddu
Wango.
Selain
daripada hal-hal negatif yang berasal dari perbuatan para Wango itu,
orang Sabu percaya pula bahwa kesulitan yang dialami manusia adalah hukuman
terhadap pelanggaran dan kelalaian manusia sendiri.
Peristiwa
yang diamati dan dialami orang Sabu diberi pula makna dalam hubungannya dengan
dunia gaib, baik makna positif maupun makna negatif. Bila ular jatuh dari atap,
atau burung terbang ke dalam rumah, dan sebagainya maka orang Sabu segera
melakukan upacara Kerei Kepoke (menanyakan tombak), untuk memperoleh
jawaban dan mengetahui makna apa yang terkandung di belakang peristiwa itu.
Usaha mencari tahu biasanya berakhir dengan menginventarisasi sejumlah hal yang
terjadi di masa lampau yang dapat digolongkan sebagai pelanggaran atau
kesalahan. Dalam upacara Kerei Kepoke ini, juga diselidiki terhadap
makhluk halus manakah kesalahan itu telah dibuat. Untuk memulihkan kembali
aturan serta mengembalikan yang menyimpang itu kepada ketentuan semula, harus
diselenggarakan upacara khusus. Upacara itu disebut Peami Huba. (minta
ampun) atau Pemola Anni (meluruskan diri).
Di kalangan
orang Sabu, ada pula keyakinan terhadap kekuatan gaib yang tergolong jahat yang
dimiliki manusia dan dapat mencelakakan hidup dan usaha manusia lainnya.
Kekuatan ini disebut Kewa'ga/menidu (suanggi/sihir).
cayooooooo!!!!
BalasHapus